Serba-serbi PON XX Papua: Pemukiman Jawa di Merauke

Klik Sembilan Peduli

Klik9.com – Mendapat tugas untuk melakukan peliputan PON XX Papua 2020 mulai 21 September hingga 16 Oktober 2021 terdengar seperti kabar gembira sekaligus pilu. Pasalnya, pemberitaan miring soal provinsi paling timur Indonesia itu terus disebar melalui media sosial.

Jelang pemberangkatan pun seolah terasa berat oleh stigma negatif, seperti harga barang mahal, wilayah konflik hingga malaria. Sejumlah persiapan pun kami lakukan sebaik-baiknya, di antaranya konsumsi vitamin dan anti malaria, juga perbekalan lainnya selama satu bulan.

Namun, segala prasangka negatif itu sekejap saja langsung sirna tatkala mendarat di Bandara Mopah, Merauke, Selasa (21/9/2021) sore. Sekumpulan penduduk lokal menyambut Kontingen Jawa Timur dengan tarian adat, ikat kepala dan kalungan noken. Penuh persahabatan dan persaudaraan. 

Dijemput dengan barisan bus ukuran tanggung, sepanjang jalan kami terkejut, sepanjang jalan tampak bengkel motor, maupun toko kelontong, penjual dan konsumennya adalah orang-orang Jawa Timuran. Seakan berada di pedesaan di Jawa Timur.

Benar saja. Rombongan kami mendapat jamuan prima dari Paguyuban Keluarga Jember (PKJ) yang dipimpin seorang anggota Polres Merauke dengan jabatan Kasatreskrim asal Jember, Jawa Timur. Usai ramah-tamah di aula, enam orang kru media termasuk penulis di tempatkan pada rumah kontrakan di Distrik Tanah Miring.

Baca Juga  KONI Jatim Bakal Cairkan Bonus PON Papua dan Launching Puslatda

Lebih terkejut lagi, di lokasi kita jumpai orang Jember, Lamongan, Magetan dan Banyuwangi berkumpul di kawasan Tanah Miring sebagai bekas lokasi transmigran. Sayup-sayup suara anak mengaji terdengar berasal dari musala dan masjid yang tersebar di banyak lokasi. Bahkan ada Masjid Raya Merauke di pusat kota.

Disamping itu, makanan khas Jawa dengan mudah ditemukan di sini. Tentu saja ini menjadi kabar baik untuk kami di Bumi Anim-ha (matahari terbit) di bagian paling timur Indonesia. Selain itu, kami juga disiapkan 3 mobil dan 3 motor serta tenaga bantuan yang terdiri dari tokoh agama sipil, sopir, korlap, anggota TNI dan petugas dapur. 

Bak di kampung sendiri. Kami langsung kerasan. Apalagi lengkap fasilitas AC, kamar mandi bersih, empang ikan buat mancing, kebun kelapa dan buah-buahan. Pikir kami, ini surga dunia. Indah dan nyaman. Bukan Papua yang di pemberitaan. Ditambah pelayanan yang ramah dari para tenaga bantuan ini sudah menganggap keluarga saling bertukar cerita.

Baca Juga  Bappeda Kota Bima Inisiasi Perwali dan TPPS 2024 Atasi Stunting

Karena satu orang koordinator harus merapat di pusat kota, di kontrakan tersisa empat reporter dan satu fotografer. Kami bersyukur bisa menempati kontrakan daripada hotel, karena kami bisa langsung bersosialisasi dengan warga sekitar, mengenal lebih jauh Merauke.

Di rumah yang dikontrak ini, para tenaga bantuan bergantian sift tergantung rolling tugas ke kota, mereka tak segan menemani sekadar menikmati kopi dan sedikit cemilan hingga subuh menjelang. Hitung-hitung sambil jaga kampung, katanya.

Maklum, disini masih jarang penerangan jalan umum (PJU) dan dimanfaatkan banyak orang untuk mencuri. “Kita sudah ada jadwal untuk jaga kampung,” kata Suwardi, anggota TNI AD yang sudah 6 tahun ditempatkan di Merauke.

Memasuki hari kedua, Rabu (22/9) kami awak media giliran berkesempatan bertemu dengan sesepuh Jawa Timur asal Jember yang tinggal di Merauke. Mbah Tiyama namanya. Usianya sudah lebih dari 100 tahun. Namun, Mbah Tiyama masih terlihat sehat dan bugar.

Baca Juga  Ini Kiat PSSI Jatim Jaga Sportivitas Ajang Pra Porprov Jatim VII/2022

Karyono (50), cucu Mbah Tiyama mengaku pertama kali menginjak tanah Merauke pada tahun 1993. Dia berikut istri dan anaknya yang berusia 4 bulan diajak pamannya yang saat itu mudik ke Jember. Setelah melalui berbagai pertimbangan, Karyono akhirnya mengiyakan ajakan saudaranya itu.

Hanya bermodal uang hasil melaut sebagai nelayan saat itu, Karyono bersama keluarganya berangkat naik pesawat Hercules milik TNI. Bahkan, Karyono juga turut membawa sejumlah hewan ternak untuk mengantisipasi kelaparan di Merauke. “Bawa ayam mas,” kata Karyono tersenyum.

Di Merauke, Karyono diarahkan saudaranya untuk ke hutan. Waktu itu istilahnya tebang alas. Karyono mendapatkan jatah satu hektar hutan rimbun berikut rumah yang terbuat dari papan kayu.

“Awalnya bingung saya mau ngapain. Akhirnya tebang alas dari nol. Setelah lahan bersih, saya menanam padi dan kacang. Sampai tahun 1999 saya pindah ke sini (Tanah Miring,red),” pungkas Karyono. (fdn/har)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

× Nanya?