SURABAYA (KLIK9COM) – Setelah mengintip pola latihan sekolah sepak bola (SSB) di Liverpool dan mengenal klub yg keempat Liga Inggris, Tranmere Rovers FC. Selanjutnya artikel pamungkas kisah inspiratif denyut ekonomi di kota ini.
Sebagaimana penuturan Muhammad Misbahul Munir (40). Ia tinggal di Liverpool karena ikut istri yang menerima beasiswa studi S3. “Istri saya dosen di ITS, wajib sekolah sampai S3. Lalu dapat program beasiswa SPDP, ada biaya hidup dan studi,” katanya, Minggu (26/5/2024) saat mengantar anaknya, Muhammad Abrisham Raffaza (10) latihan SSB Klik PSG Unika di Gununganyar, Surabaya.
Sebagai suami yang sayang keluarga, Munir memutuskan keluar dari pekerjaannya di Surabaya. Selanjutnya ikut istri ke Liverpool, Inggris. Lalu mencari pekerjaan di sana, namun waktu itu 2020 suasana masih lock down karena pandemi Covid-19.
“Setahun pertama hanya stay di rumah. Karena masih situasi lock down, susah mencari pekerjaan. Sambil jualan kirim ke Indonesia sepeda lipat Brompton dari Inggris yang viral waktu itu,” terangnya.
Situasi lock down, apalagi adanya varian Delta dari Inggris, kala itu benar-benar parah di Liverpool. “Namun, setelah agak longgar, saya mencari kerja part time. Bukan yang ofisial kantoran, tapi seperti petugas kebersihan, jaga restoran, food delivery, kirim makanan. Di sana, walaupun kerja rendahan, UMR-nya bisa untuk biaya hidup layak,” tutur Munir.
Ia mengucap syukur alhamdulillah istri dapat beasiswa, plus dia kerja, biaya hidup masih bisa tercukupi. Walaupun yang mahal di sana itu, biaya akomodasi sama energi kayak listrik, gas itu mahal, timpalnya.
“Sewa rumah per bulan itu 600 pounds, sekitar Rp12 juta. Ini rumah petak tingkat dua, di bawah kamar ruang tamu, dapur. Atas dua kamar sama kamar mandi.”
“Biaya total bulanan sekitar Rp19 juta. Tapi kalau harga makanan seperti buah, daging, sayur hampir sama. Tempo hari saya ke supermarket, harga daging di sini Rp140 ribu, kalau di sana per kilogramnya 8 pounds (Rp160 ribu). Jadi nggak beda jauh harganya,” urainya.
Kalau pendapatan UMR-nya, di sana tidak bicara hitungan bulanan. Tetapi, per jam. Yakni, 11,44 pounds (sekitar Rp240 ribu) per jam. Sedangkan penghasilan di sana itu, tinggal kalikan UMR per jam dengan waktu kerja sekitar 7 jam. “Alhamdulillah Cukup untuk saving (menabung) tambah biaya hidup beasiswa tadi,” ujar Munir.
Jadi, sambung Munir, sekelas kerja rendahan pun, sudah bisa hidup layak. Mereka masih bisa holiday, berlibur. Karena, ada benefit atau keuntungan dari pemerintah hasil penarikan pajak.
Sebagai contoh, ketika ada orang tua yang tidak bekerja, warga lokal yang tidak mampu. Dan mereka punya anak tiga itu, per anak dapat benefit pemerintah sebesar 500 pounds, atau Rp10 juta setiap anaknya per bulan, jadi dapat Rp30 juta.
Kemudian, ada rumah kontrakan milik pemerintah, yang bagi warga miskin hanya bayar separuhnya. “Kalau tadi saya bilang kontrakan per bulan Rp12 juta, maka orang tidak mampu bayarnya Rp6 juta. Tapi, setiap bulan kalau punya tiga anak bisa dapat Rp30 juta. Sehingga masih bisa hidup layak, setelah dikurangi biaya hidup bulanan.”
“Belum lagi misalnya, kalau ada orang tua yang sakit, terus nggak ada yang menjaga. Oleh karena di sana tidak ada kewajiban anak menjaga orang tua yang sakit. Maka, bagi anaknya yang menjaga orang tuanya yang sakit itu, dapat bantuan pemerintah sebesar Rp16 juta (800 pounds) tiap bulan,” jabarnya.
Selain bicara sepak bola, Munir lantas bercerita pengalaman temannya di Liverpool. “Bapaknya sakit kanker. Nah, si anak ini mengambil benefit menjadi caregiver parent (pengasuh orang tua) untuk mendapatkan bayaran. Bayangkan di Indonesia, kita sebagai anak, orang tua menjadi tanggung jawab kita.”
“Itulah negara maju dengan sistem tax (pajak,red). Karena semua sudah terkomputerisasi, bahkan dengan NPWP-nya Inggris, kita masukkan nomornya sudah ketahuan, gaji, tinggal di mana, pernah punya tunggakan. Jadi, kalau negara maju sistemnya jadi satu,” terangnya.
Pengalaman luar biasa membuka mata Munir, bahwa dunia ini ada negara maju. Yang mana, meski biaya tinggi, tetapi rakyatnya bisa hidup layak.
“Ada cerita menarik, supermarket, restoran, di sana, ketika makanan nggak laku. Ada aplikasi android atau IOS. Nanti makanan dimasukkan aplikasi, dan orang yang membutuhkan bisa mengambil makanan itu di restoran utamanya orang miskin. Sebab, di sana orang malu minta-minta, betul-betul.”
“Di depan pintu supermarket ada kotak sedekah makanan yang mengisi pengunjung. Kalau orang yang butuh akan mengambil. Tapi bagi yang mampu akan malu mengambilnya,” jelasnya.
Menurutnya, meskipun di negara maju, tetap ada orang miskinnya. Tapi mereka mendapat santunan negara. Kendati demikian, masih Munir, kalau mereka miskin karena sifat malasnya.
“Di pusat kota Liverpool itu, ada orang minta-minta uang (temuan,red). Bukan karena nggak bisa makan. Tetapi, karena kecanduan obat-obatan,” ungkapnya.
Untuk ukuran hidup layak di Inggris, kata Munir. Pertama, agama bukan fokus, hidupnya cuma bekerja dan liburan. Tolok ukurnya berlibur ke luar negeri. Paling dekat ke Eropa selatan seperti Spanyol untuk mencari matahari saja. Kalau ke Asia sudah termasuk orang kaya. Intinya mencari matahari.
“Ukuran hidup layak adalah bisa liburan ke luar negeri. Mereka lebih ke holiday. Sebab, yang mereka pikirkan kesehatan mental sudah mempraktikkan, mental itu perlu menjaganya, nggak hanya menyuruh kerja tapi mental kita anjlok, nggak pernah hiburan, relaksasi, otomatis mental akan kacau. Bukan hanya digaungkan mental health kayak di Indonesia.”
“Di sana itu, mental health sama work balance, kesehatan mental dan keseimbangan kerja, ada peran pemerintah dan kantor.”
“Contohnya, kita punya anak, tapi nggak ada yang ngantar sekolah pagi. Sementara jam masuk kantor dan sekolah bersamaan. Maka, itu kantor harus memberikan dispensasi ke orang tua untuk mengantarkan ke sekolah dulu termasuk menjemput pulangnya, baru kita kerja.”
“Jadi, kalau faktor sudah keluarga, maka pemerintah dan swasta pemberi kerja harus memberikan dispensasi. Jadi kenyamanan bekerja sangat menjadi perhatian,” pungkasnya. (har)
(Tamat)