
SURABAYA, Klik9.com — Stiker bertuliskan “Save Tunjungan” yang sempat menghiasi sejumlah tenant di kawasan Jalan Tunjungan Surabaya kini berangsur hilang. Namun, di balik hilangnya stiker itu, para pemilik tenant justru mengaku mendapat intervensi baru berupa surat pernyataan yang diminta untuk ditandatangani sebagai bentuk persetujuan penghapusan parkir tepi jalan di kawasan Jalan Tunjungan.
Para tenant di Jalan Tunjungan menilai langkah tersebut bukan hanya menekan kebebasan suara, tetapi juga menimbulkan kesan seolah-olah seluruh pelaku usaha mendukung penuh kebijakan itu.
“Langkah ini kami nilai sebagai bentuk intervensi yang tidak sehat, tidak demokratis, dan menekan kebebasan suara para pelaku usaha. Alih-alih membangun komunikasi dua arah, pemerintah justru menggunakan pendekatan sepihak dengan mendistribusikan surat siap pakai yang tinggal ditandatangani,” ujar Fahad UB, pemilik salah satu tenant di Jalan Tunjungan, Selasa (26/8/2025) malam.
Fahad menegaskan, para tenant tidak menolak kebijakan penataan parkir, tetapi menuntut adanya komunikasi yang jujur dan terbuka. Menurutnya, setiap kebijakan yang menyangkut aktivitas ekonomi di kawasan Tunjungan seharusnya lahir dari dialog bersama, bukan dari instrumen yang menekan.
“Kawasan Tunjungan hanya akan hidup jika ada sinergi antara pemerintah dan pelaku usaha. Namun, sinergi tidak mungkin tercapai bila suara kami ditekan dan diarahkan secara sepihak. Kami siap berdiskusi, tapi menolak di paksa,” tegasnya.
Fahad juga menilai praktik semacam itu bisa menyesatkan publik. Sebab, adanya surat pernyataan ini bisa membuat publik salah paham, seolah-olah semua tenant mendukung penuh kebijakan.
“Padahal banyak yang keberatan. Ini melemahkan prinsip demokrasi dan keterbukaan yang seharusnya jadi dasar pengambilan keputusan publik, apalagi di kawasan ikonik yang menjadi etalase Kota Surabaya,” terangnya.
Selain soal intervensi, pemilik tenant juga merasakan langsung dampak kebijakan penataan parkir. Sejak aturan baru di berlakukan, omzet sejumlah usaha turun drastis hingga 50 persen.
“Kami sepakat tidak ada parkir liar, tapi harus ada solusi yang solutif. Parkir yang di tunjuk Pemkot kapasitasnya kecil dan tidak memadai. Ada yang katanya bisa ribuan, ternyata cuma seratusan. Akhirnya pengunjung muter-muter, enggak dapat parkir, lalu batal masuk. Itu sangat memukul omzet kami,” tambah Rodo, pemilik tenant lain di kawasan Tunjungan.
Rodo menambahkan, sejak awal Tunjungan tumbuh berkat prakarsa dan partisipasi tenant. Namun, tanpa dialog yang terbuka, semangat kebersamaan itu justru bisa luntur.
“Sejak awal, Tunjungan ini kita hidupkan bareng-bareng. Harusnya kalau ada kebijakan baru, kita duduk bersama mencari Win-win solution. Kalau sekarang, omzet turun, biaya operasional tetap jalan, sementara pengunjung potensial malah lari ke tempat lain,” ujarnya.
Menurut Rodo, jika kondisi ini tidak segera di atasi, Jalan Tunjungan berpotensi kehilangan daya tariknya.
“Sewa di sini minimal Rp250 juta per tahun, ada yang sampai Rp900 juta. Kalau omzet terus anjlok, siapa yang bisa bertahan? Kita bukan menolak aturan, tapi mari cari solusi bersama. Jangan sampai karya yang kita hidupkan justru mati karena kebijakan yang tidak melibatkan pelaku usaha,” tandasnya. (*)






















