
Klik9.com – Genap 28 tahun Imam Kayubi (56) beserta istri merantau ke tanah Papua, tepatnya di Distrik Tanah Miring, Kabupaten Merauke. Sejak saat itu, dia mengabdikan diri sebagai pengerajin batu bata merah di Distrik Tanah Miring. Ia meyakini kalau bata produksinya itu terbaik di Bumi Anim-ha.
Dulu, saat pertama kali memproduksi, bata buatan Kayubi hanya seharga Rp350 ribu per seribu biji. Artinya, setiap biji yang hanya seharga Rp350. Namun, berkat usaha dan kegigihannya, saat ini, satu biji bata dihargai Rp2000.
Bahkan, pesanan yang datang, diakui Kayubi tak kunjung berhenti. Setiap hari, dia terus membuat bata. Sebelum fajar, Kayubi menggali lahan yang berada tepat di belakang rumah. Dia dibantu 4 orang saudara yang juga memutuskan merantau karena tergiur keuntungan yang diceritakan Kayubi.
Setelah menggali lahan, tanah itu kemudian direndam air yang diambil dari drainase atau orang sini menyebut irigasi.
Keesokan hari, tanah yang sudah bertekstur lumpur, diaduk untuk membuat kualitas yang bagus. “Airnya dikuras lalu diaduk,” terang Kayubi sambil menyusun kayu untuk bahan bakar.
Tanah yang sudah berkurang kadar airnya lalu dicetak di atas tanah kosong beralaskan kain terpal. Jika cuaca bagus, Kayubi dan empat saudaranya bisa melanjutkan proses ke pembakaran. Namun, jika terus dihajar hujan, cetakan bata bisa kering hampir lima hari. “Tergantung cuaca,” lanjut dia.
Dari cetakan itu, Kayubi lalu memindahkan bata yang kering ke lokasi yang berada 10 meter dari lokasi itu. Disana, Kayubi dan empat saudaranya membentuk susunan bata hingga menyerupai candi. Tidak lupa, Kayubi juga menyisahkan lubang yang digunakan sebagai tungku pembakaran.
Di atas candi, terdapat terpal yang ditautkan ke tiang kayu. Fungsinya, mengantisipasi air hujan yang mendadak turun. Pembakaran sendiri dilakukan dalam waktu 24 jam. Tidak tanggung-tanggung, sekali membakar 25 ribu bata, dibutuhkan kayu sebanyak dua truk engkel. Harga satu truk Rp 700 ribu.
Selama proses pembakaran, Kayubi wajib menunggu di lokasi. Bahkan, agar tidak meninggalkan tempat pembakaran, Kayubi menyediakan berbagai makanan hingga kopi. Ada juga sound system untuk sekadar mendengarkan lagu. “Gak boleh ditinggal proses pembakaran ini,” terang dia.
Setiap hari, Kayubi, Imam Santoso, Budiono, Gledak dan Zaenuri bisa mencetak bata masing-masing 1000 biji. Pria kelahiran Jember itu tidak memungkiri jika kerja keras dia tidak akan berbuah tanpa bantuan para saudaranya itu. “Ya mereka ini yang selalu bantu saya buat bata mas,” tandas bapak satu anak ini. (fdn/har)






















