JEMBER, Klik9.Com – Di Kabupaten Jember sedang menghadapi keprihatinan isu sosial fenomena pernikahan usia dini dan nikah siri. Nikah siri adalah prosesi pernikahan sesuai rukun Islam, namun tidak tercatat di Kantor Urusan Agama (KUA). Hal ini sering menjadi jalan pintas bagi sebagian masyarakat.
Praktik nikah siri di Jember ini terbagi dalam dua kategori, yakni akad nikah yang sah secara agama, tetapi negara tidak mengakui. Dan melakukan pernikahan secara sembunyi-sembunyi (tidak sah secara agama). Masalah ini mencerminkan kompleksitas sosial di masyarakat.
Pada 2023 terjadi 5.348 kasus perceraian di Jember. Tingginya angka perceraian ini menjadi bukti kesulitan keluarga dalam mempertahankan keutuhan rumah tangga.
Data dari Pengadilan Agama (PA) Jember menunjukkan tingginya pengajuan dispensasi kawin (diska). Di tahun yang sama, tercatat 95 persen permohonan diska disetujui karena memenuhi persyaratan administrasi.
Menurut Humas PA Jember, Hosen bahwa alasan utama pengajuan diska adalah usia pasangan yang belum mencukupi dan adanya kehamilan di luar nikah.
“Mendominasi pengajuan perempuan usia 17-18 tahun. Bahkan, ada kasus laki-laki berusia 15 tahun menikahi perempuan 45 tahun,” jelas Hosen, Jumat (27/12/2024).
Namun, masih Hosen, tidak semua permohonan mendapat persetujuan. “Kami hanya mengabulkan berdasarkan kondisi tertentu. Seperti kehamilan atau pertimbangan ekonomi, dengan tetap mematuhi Undang-Undang Nomor 16 tahun 2019,” tambahnya.
Terpisah, Kadisdukcapil Jember, Isnaini Dwi Susanti, menyoroti pengaruh media sosial sebagai pemicu tren pernikahan dini. “Banyak remaja terjebak pergaulan bebas hingga terjadi kehamilan di luar nikah. Kami sering menolak permohonan administrasi jika anak masih di bawah umur dan tidak memenuhi persyaratan,” tegasnya.
Ia menekankan pentingnya usia minimal pernikahan sesuai undang-undang, yakni 19 tahun. “Orang tua harus lebih bijak dan tidak terburu-buru menikahkan anak, terutama jika belum cukup umur,” imbuhnya.
Sementara itu, Lurah Tegal Besar, Heru Setiawan, menyoroti dampak nikah siri terhadap hak-hak anak. “Kami sering menerima pengajuan akta kelahiran dari ibu-ibu yang ditinggal suami, sementara anaknya sudah besar. Ini menyulitkan administrasi karena pernikahan orang tuanya tidak tercatat,” jelasnya.
Karena itu, ia mengimbau Ketua RW untuk mendorong masyarakat yang telah lama menikah siri agar mengajukan itsbat nikah ke KUA. “Itsbat penting untuk melindungi hak pasangan dan anak,” imbuhnya.
Pasalnya, masih Heru, alasan masyarakat memilih nikah siri, salah satunya adanya batasan aturan. Seperti pada PNS dan TNI-Polri. Selain itu, alasan pribadi tidak mendapat izin istri pertama untuk menikah lagi (sembunyi-sembunyi).
Di sisi lain, Ningsi warga asli Desa Kaliwates, menjalani pernikahan siri pada usia 16 tahun dan kini harus menanggung akibatnya. Suaminya menghilang setelah beberapa bulan pernikahan.
“Saya menikah siri karena sudah cinta dan percaya padanya. Tapi ternyata dia pergi begitu saja. Rasanya sakit, apalagi status saya secara hukum tidak mengakui,” ungkap Ningsi dengan nada sedih, Sabtu (28/12).
Peran tokoh agama dalam melegalkan fenomena pernikahan siri juga menjadi sorotan. Alibi menghindari dosa zina sering kali menjadi pembenaran (akal-akalan) bagi praktik ini.
Parahnya di Jember marak layanan pernikahan siri di beberapa kecamatan seperti Ambulu, Puger, Kaliwates, Patrang, dan Wuluhan. Kondisi ini menunjukkan kompleksitas sosial yang membutuhkan perhatian serius.
Sebab melihat tingginya angka perceraian dan pernikahan dini. Maka sangat memerlukan sinergi antara pemerintah, masyarakat dan lembaga keagamaan.
Lebih jauh, harus meningkatkan edukasi akan pentingnya mencatatkan pernikahan demi melindungi hak pasangan dan anak-anak yang lahir dari pernikahan tersebut. (*/BKKBN/Redaksi)